



Israel, Mengapa Dablek ? |
![]() |
Written by Mudjia Rahardjo |
Friday, 11 June 2010 01:27 |
(Bagian II) Keenam, lebih kurang 40 % pemenang hadiah Nobel ilmu pengetahuan dan ekonomi di Amerika adalah Yahudi, 20 % profesor di universitas-universitas ternama di Amerika Serikat adalah Yahudi, dan 40% lembaga-lembaga bantuan hukum di Amerika Serikat adalah Yahudi, lebih dari separoh kebutuhan dana operasional PBB disubsidi oleh Amerika, yang diperoleh dari orang-orang kaya Yahudi sehingga resolusi PBB tentang apapun, apalagi tentang Palestina, tanpa campur tangan Amerika selama ini terbukti menthok.. Karena itu, sikap PBB atas semua tindakan brutal Israel ya biasa-biasa saja. Paling-paling hanya dengan retorika “mengecam” tindakan Israel dan “untuk tidak diulangi lagi”. Dengan resolusi yang sangat lunak seperti itu, ibarat anak nakal Israel pasti tidak akan jera. Hal yang sama tetap akan diulangi lagi, toh Israel tahu persis bahwa resolusinya nanti ya hanya begitu-begitu saja. Di benak Israel, setiap resolusi dari masyarakat internasional (PBB dan OKI) dianggap angin lalu saja. Selama ini juga tidak ada efeknya. Ketujuh, lobi Yahudi juga banyak mengelilingi Presiden Amerika Serikat sekarang ini, Barack Obama. Menlu Hillari Clinton adalah simpatisan Yahudi nomor wahid. Obama yang di awal-awal kepresidenannya sempat agak keras dengan Israel dan memberi angin harapan pada perjuangan rakyat Palestina sekarang tidak lagi bersuara. Tampaknya Obama sudah kena semprit orang Yahudi agar tidak bersikap keras terhadap Israel dan memberi harapan kepada Palestina. Ketika Obama terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, masyarakat Palestina dan beberapa negara OKI, termasuk Indonesia, sempat berharap banyak pada peran Obama agar konflik Palestina-Israel yang sudah berlangsung berabad-abad itu bisa segera berakhir dengan berdirinya sebuah negara Palestina merdeka.yang berdampingan dengan Israel. Tetapi tampaknya harapan itu belum akan terwujud setidaknya sampai akhir pemerintahan Obama. Obama tidak mungkin menerobos lingkaran Yahudi yang sudah demikian kuat hanya untuk perjuangan Palestina jika ingin aman kursi kepresidenannya dan selamat jiwanya. Misteri pembunuhan Presiden Kennedy yang sampai saat ini belum terungkap diduga terkait dengan sikap Kennedy yang cukup keras saat itu terhadap Yahudi. Atas dasar itu, Obama pasti telah belajar dari peristiwa itu. Selain itu, kekerasan yang terus berlangsung antara kedua belah pihak, dengan korban terbanyak pada pihak Palestina, tampaknya masih sangat sulit berharap bahwa konflik itu akan segera berakhir. Lebih-lebih di antara bangsa Palestina sendiri yang di Tepi Barat – yang dikuasi Al Fatah – dan yang di Gaza – yang 100 % merupakan pengikut Hamas juga masih terus bertikai. Bangsa Palestina tidak saja menghadapi Israel yang semuanya di atas kemampuan Palestina, tetapi juga menghadapi konflik antar-warga Palestina sendiri yang berbeda visi perjuangannya. Kelompok Al Fatah memilih bersikap moderat dan menggunakan diplomasi sebagai strategi perjuangan, sementara Hamas memilih menggunakan kekerasan dan tidak mau kompromi dengan Israel karena selama ini merasa dikibuli terus. Singkat kata, kita semua belum tahu kapan penindasan Yahudi atas bangsa Palestina yang mencabik-cabik nilai-nilai kemanusiaan itu akan berakhir. Adalah sebuah ironi di zaman modern ini di saat sebagian besar warga dunia berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan sebagai biang ketidakmakmuran melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi masih ada sekitar 4 juta bangsa, yakni bangsa Palestina, yang masih berjuang untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajah. Untuk itu, sudah saatnya para pemimpin dunia bersatu melepaskan warga Palestina dari belenggu zionis Israel melalui berbagai pintu perjuangan. Berikan hak hidup bagi warga Palestina di tanah mereka sendiri. Warga Palestina sendiri juga membangun persatuan nasional yang kokoh jika ingin mencapai kemerdekaan. Perjuangan mencapai kemerdekaan tidak akan pernah tercapai jika tidak ada persatuan di antara warga Palestina sendiri. Ketika di antara warga Palestina sendiri saling bermusuhan, maka yang beruntung adalah Israel. Permusuhan antar-mereka akan menambah deretan panjang kesengsaraan. Bagi manusia normal, tangis dan air mata terasa habis memikirkan nasib warga manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sama seperti kita. Tetapi kita bangga warga Palestina bukan bangsa penakut, apalagi takut mati. Buktinya adalah perjuangan memerdekakan diri itu tidak sedikit pun surut kendati semua akses keluar dan masuk ke Palestina ditutup Israel, kendati darah para syuhada’ terus mengalir, dan andai saja masyarakat internasional melupakannya. Perjuangan itu tetap akan diteruskan sampai bendera nasional berkibar sebagai simbol dari bangsa yang merdeka. Belajar dari sejarah bangsa-bangsa yang berjuang memerdekakan diri, termasuk Indonesia yang lepas dari penjajahan selama 350 tahun, maka saya yakin perjuangan warga Palestina itu suatu saat juga akan berakhir pula. Allah tentu tidak akan membiarkan kedholiman itu berlangsung selamanya. Tentu ada batasnya. Tatkala akan menutup artikel ini, saya tiba-tiba teringat kawan saya seorang Palestina yang tinggal dan bekerja di Saudi Arabia. Sebagaimana manusia lazimnya, dia juga ingin bisa bepergian ke luar negeri untuk melihat suasana masyarakat di belahan dunia yang lain. Saya mengundangnya datang ke Indonesia. Dia sangat senang karena baru kali ini menerima undangan ke Indonesia. Selama ini dia sudah mendengar dan melihat dari tayangan TV tentang Indonesia. Karena itu, dia sangat ingin suatu kali berkunjung ke Indonesia. Tetapi tiba-tiba dia meneteskan air mata ketika undangan saya sampaikan. Saya bertanya mengapa menangis. Dia menjawab dalam bahasa Inggris yang sangat fasih “I am stateless”, artinya saya tak punya kewarganegaraan. Kalaupun saya bisa pergi pasti nanti tidak bisa kembali. Sementara saya merawat kedua orangtua saya yang mulai uzur. Di Saudi status saya hanya “permanent resident”, alias penghuni tetap. Jadi tidak bisa ke mana-mana sebelum negara saya Palestina merdeka”, begitu ceritanya. Saya sempat meneteskan air mata tatkala mendengar cerita betapa sedihnya menjadi manusia tanpa status kewarganegaraan. Dia tidak bisa pergi ke mana-mana. Kalaupun bisa pergi tidak akan pernah bisa kembali karena tidak punya visa. “Even if I can go, I will never come back, because I am a stateless human being”, begitu kalimat kawan Palestina itu yang sampai sekarang saya masih mengingatnya. . Subhanallah ! We are all praying for you the Palestinians !
Comments (97)
Powered by !JoomlaComment 4.0 beta1
!joomlacomment 4.0 Copyright (C) 2009 Compojoom.com . All rights reserved." |
Last Updated on Friday, 11 June 2010 01:31 |