Pernik-Pernik di Bulan Ramadan
Orang itu bernama Paiman, dan di lingkungannya biasa dipanggil Pak Man. Usianya sekitar 65 tahun dengan separoh rambutnya sudah memutih. Pekerjaan sehari-harinyasebagai penjaga sebuah kantor swasta yang tidak begitu besar. Anak, istri dan cucunya semua ngumpul di bangunan kecil di balik kantor tersebut. Saya kaget bukan kepalang ketika saya ada urusan dengan kantor tersebut dan bermaksud ke toilet tiba-tiba mendapati Pak Man itu sedang makan siang dengan lahapnya dan ada segelas minuman kopi di depannya. Seketika saya bertanya “Lho Pak Man gak puasa ya? “. Dengan bahasa Jawa, dia menjawab“ Walah-walah pak kulo niki sampun tuwek , mboten usah macem-macem Pak”, begitu jawabnya dengan entheng. Artinya “ Saya ini sudah tua pak, gak usah macam-macam”.
Siapa pun yang mendengar jawaban Pak Man akan tertawa-tawa terpingkal-pingkal atau istighfar. Di mata Pak Man puasa itu dianggap perbuatan aneh-aneh. Jadi karena sudah merasa tua, dia tidak perlu berpuasa. Aneh sekali dan berbalik seratus derajat dengan orang kebanyakan. Umumnya, orang semakin tua, semakin tekun beribadah sebagai bekal jika sewaktu-waktu meninggal. Kasus Pak Man sangat aneh , karena sudah merasa tua , maka tidak perlu berpuasa yang dianggap pekerjaan aneh-aneh itu. Bagaimana menjelaskan perilaku Pak Man tersebut?
Perintah Allah untuk berpuasa sudah sangat jelas dan tidak perlu ditafsir macam-macam. Janji Allah bagi orang yang menjalankan ibadah puasa dengan landasan iman dan semata karena memohon ridho –Nya sangat banyak bertebaran di dalam al Qur’an. Begitu juga hadis Rosulullah tentang hikmah di balik ibadah puasa tidak sedikit jumlahnya. Namun demikian, di dalam implementasinya ada dua kelompok manusia menyikapi ibadah puasa. Ada yang memahami ibadah puasa dengan kesadaran tinggi sehingga menjalankannya dengan sungguh-sungguh. Kelompok ini menyadari benar bahwa Allah limpahkan kasih sayang-Nya kepada orang yang berpuasa, dan diampuni dosa-dosanya, baik yang lalu maupun yang akan datang. Inilah manusia yang sangat beruntung dalam hidupya, bisa bertemu Ramadan dan memanfaatkan Ramadan itu untuk beribadah sebagaimana diperintahkan Allah. Mereka manfaatkan untuk kegiatan-kegiatan beribadah seperti membaca al Qur’an, taraweh, bersodaqoh, dan menjaga lisan serta hatinya dari perbuatan yang tidak perlu.
Tetapi di sisi yang lain ada kelompok manusia yang tidak mengerti sama sekali makna ibadah puasa di bulan Ramadan, sehingga Ramadan pun berlalu seperti halnya hari-hari yang lain. Mereka tidak berpuasa dan tetap menjalankan aktivitas sebagaimana biasa: makan dan minum di siang hari. Kasus Pak Man di atas sebagai contoh. Pak Man itu yang mungkin disebut di dalam al Qur’an disebut sebagai orang yang tertutup hatinya. Hiruk pikuk suara orang membaca al Qur’an di masjid, surau dan di rumah-rumah, pengajian para ustad lewat TV dan radio, berduyun-duyun orang pulang dan pergi ke masjid untuk sholat taraweh, suara takmir masjid dan mushola yang mengingatkan waktu makan sahur dan waktu imsya’ seakan tak mampu membuka mata hati Pak Man. Hati Pak Man tetap beku dan menganggap puasa sebagai ibadah untuk orang-orang muda. Orangtua seperti dia tidak perlu berpuasa.
Tetapi saya tidak putus asa dan berharap Pak Man itu suatu saat sadar dan memperoleh kasih sayang Allah sehingga mata hatinya dibuka untuk mau menjalankan ibadah sangat penting ini. Jika sampai akhir hayatnya, Pak Man masih belum terbuka hatinya dan tetap menganggap ibadah puasa tidak perlu saya tidak tahu bagaimana dia mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah. Azab macam apa yang akan diperoleh Pak Man atas perbuatanya yang berani melanggar perintah Allah tersebut.
Kontras seratus derajat dengan Pak Man adalah tukang sampah di kampong tempat tinggal saya. Sebut saja namanya Pak Edi. Usianya sudah hampir medekati 50-an tahun. Jam 3 pagi harus sudah meninggalkan rumah untuk keliling mengumpulkan sampah warga dengan gerobaknya. Pekerjaan itu sudah dilalkukan hampir delapan tahun. Di saat adzan subuh berkumandang, dia lepaskan baju ‘dinas’nya dan berganti dengan kaos dan sarung yang sudah dipersiapkan dari rumah untuk menuju masjid yang ada di kampung itu. Pak Edi ini dikenal sebagai petugas sampah yang sangat tekun dan rajin. Lebih dari itu, dia tekun beribadah. Karena itu, warga menyukainya. Sering warga memberi dia uang dan makanan, bahkan pakaian. Semua diterima dengan tulus.
Dia bekerja tanpa banyak bicara. Barang-barang bekas yang masih berharga , seperi kantung plastik dan botol aqua dikumpulkan untuk dijual lagi ke pengepol barang bekas. Kendati menarik gerobak yang berisi penuh dengan sampah dan keringat membasahi tubuhnya, dia tetap senyum. Ketika suatu saat mau mengambil sampah di dekat rumah saya, saya tanya “Pak Edi puasa?”. Dia pun menjawab “Inggih pak, mumpung masih kuat”. Subhanallah!
Pak Edi kontras dengan Pak Man tadi. Dia tekun beribadah walau sebetulnya pekerjaannya sangat berat dan bahkan jauh berat daripada Pak Man yang hanya penjaga kantor. Memang Pak Edi jauh lebih muda. Di sini saya teringat perintah Allah untuk berpuasa. Panggilan berpuasa hanya diberikan kepada orang-orang beriman. Pak Edi adalah contoh orang beriman. Jika tidak, dia tentu tidak akan berpuasa karena pekerjaannya sangat berat. Karena itu, Allah janjikan pahala yang sangat besar bagi orang yang berpuasa karena iman dan taqwanya serta memohon ridho-Nya. Menjadi sangat masuk akal jika berpuasa hanya diwajibkan untuk orang-orang beriman saja.
Pak Man dan Pak Edi adalah contoh pribadi kontras. Yang pertama tidak tahu sama sekali arti Ramadan dan tidak perlu berpuasa karena sudah tua. Sedangkan yang kedua paham betul hikmah di balik ibadah puasa, dan menjalankannya mumpung masih sehat dan fisik segar bugar. Di mata Allah, Pak Edi yang tukang pengumpul sampah tidak kalah mulianya dengan pejabat tinggi negara, misalnya, yang tidak berpuasa. Siapa tahu keringat yang membasahi tubuh Pak Edi waktu menarik gerobaknya yang penuh sampah nanti berganti dengan pahala yang mengalir karena amal sholehnya, yakni mengumpulkan sampah warga dengan ikhlas dan tetap berpuasa.
Recent Comments