Sains, Sejarah dan Perkembangannya (Tulisan ke-2)
Kalau begitu, sains itu apa? Para ahli memberi penjelasan mengenai sesuatu disebut sains atau bukan dari ciri-ciri pengetahuan itu, melainkan bagaimana para ilmuwan atau saintis memperlakukan kenyataan untuk memeroleh pengetahuan. Dengan kata lain, sesuatu disebut sains atau bukan tergantung pada bagaimana cara pengetahuan itu diperoleh atau epistemologinya. Misalnya, eksperimen dianggap salah satu cara atau metode sains modern bekerja, sehingga pengetahuan eksperimental dianggap jenis pengetahuan paling sahih. Tetapi perlu diingat tidak semua sains dapat menggunakan eksperimen. Misalnya, para astronom tidak mungkin menggunakan eksperimen tetang kehidupan di surga. Begitu juga ilmu-ilmu sosial tidak disebut sains, karena tidak dapat melakukan eksperimen sebagaimana biologi, kimia dan fisika. Menurut Neuman (2000: 63) adalah metode bagaimana pengetahuan diperoleh yang menjadikannya sebagai pengetahuan ilmiah, bukan objek kajiannya. Sejalan dengan Neuman, Nachmias dan Nachmias (1976: 15) menyatakan:
“Science is not united by its subject matter, but rather by its methodology. What sets the scientific approach apart from other modes of acquiring knowledge are the assumptions upon which it is based and its methodology”.
Para saintis berpandangan bahwa pengamatan langsung dengan daya indra terhadap gejala atau objek empirik melalui observasi dianggap cara paling objektif memeroleh pengetahuan, sehingga kebenaran ilmiah terletak pada objek, sebagai informasi empirik. Dengan demikian, pengetahuan yang benar adalah yang selaras dengan kenyataan empirik. Jika terjadi perbedaan antara pikiran dengan kenyataan, yang dilakukan ialah memperbaiki pikiran melalui pengujian, bukan mengubah objek atau kenyataan empiriknya.
Tetapi, sebagaimana dinyatakan Watloly (2001: 142) bahwa betapapun objektifnya pengetahuan indrawi, ia hanya ditangkap oleh satu indra saja. Oleh karena itu, tidak bisa dipandang sebagai pengetahuan yang utuh dan berlaku secara umum. Sebab, kenyataan itu tetap berupa benda mati yang memerlukan penafsiran. Penafsiran adalah kerja intelektual dan proses mental yang setiap orang memiliki kemampuan dan daya tafsir berbeda-beda. Menurut W. Poespoprodjo (1987: xii), penafsiran atau interpretasi adalah aktivitas intelektual yang hendak mengungkap realitas kemanusiaan yang lebih kaya, lebih luas, lebih insani dan sesuai dengan keluhuran insani. Realitas hidup, kenyataan manusia sebagaimana dirancang Sang Pencipta jauh lebih kaya daripada yang dapat dinyatakan ke dalam kata-kata, daripada disergap dengan konsep-konsep, kategori-kategori yang dipaksakan oleh manusia, daripada yang dapat dirumuskan dalam suatu sistem.
Selanjutnya hasil penafsiran akan diungkap melalui simbol atau lambang bahasa agar menjadi pengetahuan publik. Bisa dibayangkan betapa sulitnya proses keilmuan tanpa bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah. Sayangnya selama ini fungsi bahasa seolah terpinggirkan dibanding matematika dan statistika. Tetapi bahasa memiliki keterbatasan, sehingga tidak mampu memberi simbol terhadap semua kenyataan, baik yang konkret, abstrak, maupun simbolik. Karena itu, selalu ada yang tersisa dalam pengetahuan. Menurut filsafat bahasa, ketika seseorang mengatakan sesuatu, sesuatu yang tidak terkatakan menyertainya, sehingga keduanya merupakan suatu kesatuan. Akibatnya, sebagaimana dinyatakan Polanyi (1996: xii) ada dua macm jenis pengetahuan: pengetahuan terungkap (explicite knowledge) dan pengetahuan tak terungkap (tacit knowledge). Pengetahuan eksplisit ialah pengetahuan yang terungkap dalam kata-kata, simbol-simbol,dan formula-formula matematis. Sedangkan pengetahuan tak terungkap ialah pengetahuan yang berada pada pada ambang kesadaran manusia dan telah menjadi bagian dari diri manusia.
Menurut Polanyi (1996: xiii), yang kita ketahui dengan jelas melalui indra pun belum tentu dapat kita ungkap dalam kata-kata atau simbol bahasa. Sebenarnya kita tahu lebih banyak daripada yang dapat kita ungkapkan. Akhirnya, manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna tetap menjadi makhluk dalam keterbatasan. Ketika suatu keterbatasan telah dapat d3ipecahkan lewat pengetahuan baru akan muncul keterbatasan baru, dan begitu seterusnya. Meminjam ungkapan Watloly (2001: 116), manusia selalu bergerak dari satu keterbatasan ke keterbatasan lainnya secara terus menerus; ia adalah pengada yang terbatas dengan batasan-batasan yang melingkupinya.
Seorang saintis bukan seorang fotografer yang bertugas untuk memotret suatu objek atau mereproduksi suatu peristiwa tertentu dan mengabstraksikan dalam bahasa keilmuan. Tugas saintis ialah mencari jawaban mengapa sesuatu peristiwa terjadi. Sains berasumsi bahwa tidak ada peristiwa alam yang terjadi secara tiba-tiba atau kebetulan, melainkan terjadi saling berhubungan, berulang-ulang, terpola, ajeg dan tunduk pada aturan tertentu dan tidak mudah berubah, sebagaimana fenomena atau gejala sosial. Para saintis bertugas untuk menemukan keteraturan itu yang kemudian dirumuskan menjadi pola, dalil, rumus, proposisi atau teori.
Temuan itu pun tetap terbatas pada data, daya intelektual dan kemampuan bernalar mereka yang menyebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Karena itu, kebenaran ilmu bersifat tentatif (tidak mutlak), yang sewaktu-waktu siap direvisi setelah ada temuan baru. Taufik Abdullah, dalam pengantar buku Metodologi Penelitian Agama (2004) menyatakan tradisi ilmiah tidak berakhir dengan kepastian dan tidak pula dapat mendakwahkan diri sebagai penemu kebenaran. Tradisi ilmiah hanya berusaha menemukan apa yang dianggap benar secara ilmiah berdasarkan data. Kebenaran ilmiah ditemukan sejauh seseorang dapat menemukan keajegan (regularitas) terhadap suatu fenomena. Di sini peluang terjadinya kesalahan dalam membuat inferensi.
Ciri lain mengenai sains atau ilmu pengetahuan, menurut Jujun S. Sumanti (2015: 7) ialah objek kajiannya membatasi diri hanya kepada kejadian yang bersifat empirik. Objek kajian ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindra manusia, misalnya melalui observasi. Objeknya berupa benda fisik seperti batu, tanah, tumbuh-tumbuhan, hewan, benda-benda angkasa dan fisik manusia. Ilmu mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Berdasarkan objek kajiannya, maka ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empirik, di mana objek-objek yang berbeda di luar jangkauan manusia tidak termasuk ke dalam bidang penelaahan ilmu. Dengan demikian menjadi jelas bahwa selain objek kajiannya yang bersifat empirik, ruang lingkup kemampuan pancaindra manusia dan peralatan yang dikembangkan untuk mengamati gejala adalah ciri utama ilmu pengetahuan.
Selain itu, ciri penting lain mengenai sains/ilmu pengetahuan, menurut (Okasha, 2002: 2) ialah bagaimana cara mengkonstruksi teori. Ilmuwan tidak hanya menghasilkan teori dari catatan hasil eksperimen dan observasi yang disimpan di buku catatan penelitian, melainkan juga mereka ingin menjelaskan teori secara umum, atau apa yang disebut ‘generalization’. Mengkonstruksi teori memerlukan kemampuan melakukan konseptualisasi dan mengabstraksikan hasil catatan dan pengamatan data empirik . Diakui ini bukan pekerjaan mudah, tetapi tidak sedikit para ilmuwan yang telah berhasil melakukannya. Ini artinya, melalui kerja secara serius tidak sedikit teori dihasilkan para ilmuwan, walau harus melalui perjalanan dan proses melelahkan. Salah satu masalah penting dalam filsafat ilmu ialah memahami bagaimana eksperimentasi, observasi, dan konstruksi teori memungkinkan para ilmuwan untuk membongkar begitu banyak misteri dan rahasia alam semesta. Atas jasa para ilmuwan, kompleksitas dan kekayaan kenyataan atau realitas di alam semesta ini semakin terkuak kebenarannya. Langsung atau tidak langsung, pengungkapan kenyataan baru berpengaruh besar pada keseluruhan hidup manusia di berbagai aspek. Itulah tugas dan tujuan utama ilmu pengetahuan. Meminjam ungkapan Jujun S. Sumantri (2015: xvi), jika agama dan moral diciptakan untuk mengajarkan kebaikan, seni untuk memancarkan keindahan, ilmu untuk mengungkap kebenaran (ilmiah) yang bersifat tentatif, probabilistik, dan pragmatik. Manusia tidak bisa hidup hanya dengan kebenaran, tanpa kebaikan dan keindahan. Karena itu, ketiga jenis pengetahuan tidak perlu dipertentangkan kemanfaatannya. Mereka membutuhkan satu sama lain, mengisi dan memberi nilai kehidupan dengan caranya masing-masing. Dunia terlalu kompleks untuk dipelajari hanya oleh satu disiplin ilmu tertentu. Karena itu, lahirnya berbagai ilmu pengetahaun, baik yang berbentuk monodisiplin, interdisiplin, maupun multidisiplin adalah sebuah keniscayaan.
Recent Comments