Kata “Siap” yang Salah Kaprah

Tidak ada kosakata bahasa Indonesia yang penggunaannya begitu deras meluncur melebihi kata “siap” akhir-akhir ini. Pasalnya, sejak persidangan kasus pembunuhan Brigadir Yosua selama dua bulan terakhir kata “siap” diucapkan oleh semua terdakwa dan saksi. Sebagai contoh, hakim bertanya kepada terdakwa Kuat Makruf “Saudara terdakwa sudah lama bekerja di rumah keluarga FS?”, dijawab “Siap.” Ketika hakim bertanya kepada Susi, ART Ferdy Sambo, “Apa Saudara tahu di mana posisi  ibu PC saat terjadi pembunuhan?”, Susi pun menjawab “Siap, Yang Mulia.” Di kesempatan lain salah seorang majelis hakim bertanya kepada terdakwa RZ, “Jadi Saudara tidak tahu FS menembak korban atau tidak?”, RZ pun menjawab “Siap”, hingga hakim pun dengan suara keras mengatakan “Siap itu apa?, Saya tidak mengerti maksudnya ”siap” itu apa, karena kami ini orang sipil. Tolong dijawab dengan jelas,” pinta hakim.

Kejengkelan hakim sangat bisa dipahami. Jawaban “siap” sangat membingungkan. Hakim yang ingin menggali peristiwa seterang mungkin menjadi kabur dengan jawaban “siap” dari para terdakwa dan saksi. Di benak hakim “Siap” itu bisa berarti “iya” atau “tidak.” Jadi tidak jelas. Seperti hakim, saya pun yang sering melihat jalannya persidangan kasus ini sejak awal melalui televisi juga ikut bingung dengan penggunaan kata “siap” oleh para terdakwa dan saksi. Saya lebih bingung lagi ketika kata “siap” yang memang sering digunakan oleh para anggota TNI dan Polri juga ikut-ikutan digunakan oleh Kuat Makruf dan Susi sang ART keluarga FS. Padahal, keduanya bukan anggota Polri.

Di tengah kebingungan, sebagai peminat bahasa, saya membuka KBBI (Edisi Ketiga) tahun 2001 untuk mencari arti kata “siap.” Pada halaman 1059, saya menemukan kata “siap” dengan beberapa arti sebagai berikut: (1) sudah disediakan (tinggal memakai atau menggunakan saja; (2) sudah selesai (dibuat atau dikerjakan); (3) sudah bersedia; (4) berdiri tegak dan mengambil sikap pada waktu berbaris; dan (5) jaga baik-baik. Dari lima arti kata “siap” menurut KBBI tersebut, tak satu pun relevan dengan makna kata “siap” dalam persidangan.

Pertanyaannya ialah siapa yang memulai menggunakan kata “siap” dengan makna yang berbeda jauh dari makna semantiknya itu dan kapan mulai digunakan. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Menjawabnya sesulit pertanyaan siapa yang membuat kata. Para ahli bahasa biasanya mengeluarkan teori untuk menjawabnya bahwa bahasa itu bersifat arbitrer atau konvensi. Jika suatu kata digunakan dan diikuti oleh pengguna yang lain, maka jadilah kata tersebut, walau maknanya berbeda jauh dari makna aslinya.

Salah satu jawaban yang cukup menghibur kita tentang penggunaan kata “siap” adalah komunitas penggunanya. Kata “siap” memang sangat lazim digunakan oleh para anggota TNI dan Polri, yang artinya, kurang lebih, “siap” melaksanakan tugas. Tradisi yang berkembang di tubuh TNI dan Polri adalah sistem satu komando. Jika atasan sudah memerintahkan sesuatu,  anak buah tidak boleh menolak. Bahkan menanyakan perintah saja juga tidak boleh. Mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, perintah Ferdy Sambo kepada anak buahnya untuk membunuh Brigadir Yosua pun dilaksakan dengan kata “siap” yang berakibat fatal.

Kembali ke penggunaan kata “siap”, saya teringat peristiwa beberapa tahun lalu. Suatu saat datang seorang anggota TNI ke kantor saya dengan maksud meminta keringanan SPP anaknya. Mula-mula dia bertanya “Berapa SPP yang harus dibayar anaknya?”, saya menjawab dengan menyebut angka. Respons terhadap jawaban saya pun adalah “Siap.” Dalam batin saya berpikir bahwa dia siap membayar SPP untuk anaknya sejumlah yang saya sebutkan. Saya senang karena dia tidak akan meminta keringanan SPP sebagaimana maksud semula. Ternyata saya salah sangka. Ujung-ujungnya anggota TNI tersebut tetap meminta keringanan untuk membayar SPP anaknya dengan alasan dia masih harus membiayai adiknya yang juga sedang kuliah di sebuah perguruan tinggi. Tetapi karena saya bukan anggota TNI atau Polri, saya tidak menjawab “siap.” Saya memintanya untuk menemui Bagian Keuangan yang bertanggung jawab urusan bayar membayar SPP.

Sambil menonton persidangan pembunuhan Brigadir Yosua, saya berpikir bahwa saya ternyata lebih dulu dibuat bingung ketimbang para hakim Yang Mulia itu. Dalam praksis penggunaannya, bahasa memang begitu longgar. Aturan, ketentuan atau gramatika sering dilanggar. Sebagai contoh, penggunaan kata “sosial media” juga begitu masif di masyarakat. Yang mengherankan penggunanya bukan orang tidak terdidik. Di sebuah seminar bergengsi yang dihadiri para akademisi, seorang narasumber yang tingkat pendidikannya sudah puncak begitu mudah menyebut kata “sosial media” berkali-kali dalam pemaparan makalahnya, tanpa merasa bersalah. Sesuai aturan pembentukan frasa dalam bahasa Indonesia mestinya “media sosial” dari kosakata bahasa Inggris “social media.”  Jadi kata “sosial media” adalah salah kaprah.

Salah kaprah lain yang lebih dulu terjadi adalah pada kata “Perdana Menteri”, yang diterjemahkan dari “Prime Minister.”  Jika konsisten dengan aturan dalam bahasa Indonesia, terjemahan yang benar ialah “Menteri Utama”, atau “Menteri Pertama.” Tapi ya itu, menurut Wilardjo (Kompas, 18/10/2022), dalam hal kosakata pengguna adalah raja, sehingga bisa berbuat apa saja, termasuk melanggar aturan dan membuat makna baru. Akibatnya, kata “Perdana Menteri” yang salah pun terus berjalan, sebagaimana kata “siap” yang salah kaprah penggunaannya juga mulai terbiasa digunakan di masyarakat. Begitulah nasib kata, maknanya bisa diubah atau berganti tergantung selera penggunanya.  Karena itu, jangan terkejut jika suatu saat nanti  Pusat Bahasa terpaksa menambah arti kata “siap”  yang maknanya jauh berbeda dengan makna aslinya!

______________

                                                                                    Malang, 8 Januari 2023                                           

Visits: 69878
Today: 4

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *